Kamis, 30 Juli 2009

"Arbain Nawawi No 41 - Menundukan Hawa Nafsu"

Arbain Nawawi No 41 - Menundukan Hawa Nafsu
Array Cetak Array
E-mail
Hadits Arbain Nawawi - Hadits Arbain Nawawi
Ditulis oleh Alex Kibadachi
Senin, 23 Desember 2008 14:33
عن أبي محمد عبدالله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما ما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم - لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به - حديث صحيح رويناه في كتاب الحجة بإسناد صحيح
Dari Abu Muhammad Abdullah bin Amru bin Al 'Ash radhiallahu' anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda: "Tidak sempurna Iman seseorang di antara kamu sehingga hawa nafsunya tunduk kepada apa yang telah aku sampaikan". (Hadits hasan shahih dalam kitab Al Hujjah)
Hadits ini semakna dengan firman Allah: "Demi Tuhanmu, mereka tidak dikatakan Beriman sebelum mereka berhukum kepada kamu mengenai perselisihan sesama mereka dan mereka tidak merasa berat hati atas keputusan kamu serta menerima dengan pasrah sepenuhnya". (QS. 4: 65) Sebab turunnya ayat ini ialah karena Zubair bersengketa dengan seorang sahabat dari golongan Anshar dalam perkara air. Kedua orang ini datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk mendapatkan keputusan. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai Zubair, alirkanlah dan tuangkanlah air kepada tetanggamu itu". Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menganjurkan kepada Zubair untuk bersikap memudahkan dan toleransi. Akan tetapi, sahabat Anshar itu berkata: "Apakah karena dia anak bibimu?" Maka merahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam kemudian sabda beliau: "Wahai Zubair, tutuplah alirannya sampai airnya naik ke atas Pagar kemudian biarkanlah hingga tumpah". Rasulullah Shallallahu' alaihi wa Sallam melakukan hal semacam itu untuk memberi isyarat kepada Zubair bahwa apa yang diputuskan beliau mengandung mashlahat bagi golongan Anshar. Tatkala orang Ashar memahami sabda nab Shallallahu 'alaihi wa Sallam itu, maka Zubair menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Karena kejadian itulah ayat ini turun. Hadits yang shahih dari Nabi, beliau bersabda: "Demi diriku yang ada di dalam kekuasaan-Nya, seseorang di antara kamu tidak dikatakan Beriman sebelum ia mencintai aku lebih dari cintanya kepada bapaknya, anaknya, dan semua manusia". Abu Zinad berkata: "Hadits ini termasuk kalimat pendek yang padat Berisikan, karena di dalam kalimat ini digunakan kalimat yang singkat tetapi maknanya luas. Cinta itu ada tiga macam, yaitu cinta yang didorong oleh rasa menghormati dan memuliakan seperti cinta kepada orang tua, cinta didorong oleh kasih sayang seperti mencintai anak dan cinta karena saling mengharapkan kebaikan seperti mencintai orang lain ". Ibnu Bathal berkata:" Hadits di atas maksudnya --- Wallaahu A'lam --- adalah barang siapa yang ingin imannya menjadi sempurna, maka ia harus mengetahui bahwa hak dan keutamaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam lebih besar daripada hak bapaknya, anaknya dan semua manusia, karena melalui Rasulullah Shallallahu' alaihi wa Sallam inilah Allah menyelamatkan dirinya dari neraka dan memberinya Petunjuk sehingga terjauh dari kesesatan. Jadi, maksud Hadits di atas adalah mengorbankan diri dan jiwa untuk membela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam berperang melawan bapak mereka atau anak mereka atau saudara mereka (yang melawan Rasulullah Shallallahu' alaihi wa Sallam). Abu Ubaidah telah membunuh bapaknya karena menyakiti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Abu Bakar menghadapi anaknya, Abdurrahman, dalam perang badar dan hampir saja anak itu dibunuhnya. Barang siapa melakukan hal semacam ini, sungguh ia dapat dikatakan kemauan-kemauannya tunduk kepada apa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam kepadanya.
"Apakah Nabi Khidir Masih Hidup ?"

Apakah Nabi Khidir Masih Hidup ?



Ditulis oleh abu uwaisy
Jumat, 09 Januari 2009 13:47
OlehLajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta
Pertanyaan.Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah Nabi Khidir (masih hidup) sebagai penjaga di sungai-sungai dan lembah-lembah ; dan apakah ia mampu menolong orang-orang yang tersesat jalan jika memanggilnya ?
Jawaban.Yang benar menurut para ulama adalah bahwa Nabi Khidir telah wafat sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana tersebut dalam firmanNya Subhanahu wa Ta’ala.
Artinya : Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal ?[Al-Anbiya : 34]
Dan diperkirakan Nabi Khidir masih hidup sampai bertemu dengan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sesudah itu, maka ada hadits yang menunjukkan bahwa dia meninggal setelah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dengan jarak waktu yang telah ditentukan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang hal ini dengan bersabda.
Artinya : Tidaklah kalian melihat pada malam kalian ini, bahwa sesungguhnya siapa yang umurnya (berkepala) seratus tahun tidak (tersisa) pada hari ini di atas permukaan bumi seorang pun[1]
Atas dasar ini, maka keadaan Nabi Khidir adalah sebagai orang mati yang tidak dapat mendengar panggilan siapa yang memanggilnya, dan tidak mampu menjawab siapa yang menyerunya, dan tidak mampu menunjukkan jalan kepada siapa yang tersesat jalan ketika meminta petunjuknya.
Adapun perkiraan bahwa ia masih hidup sampai saat ini, maka ini adalah masalah ghaib. Keadaannya seperti masalah-masalah ghaib yang lainnya ; tidak boleh kita berdo’a kepadanya dan meminta kebaikan kepadanya dalam keadaan susah maupun senang.
Shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan sahabat-shabatnya.
[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da'imah Fatwa I/170 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 08/I/ 1424H]
"Teks Perjanjian Nabi saw dengan Yahudi"
TEKS PERJANJIAN DENGAN ORANG ORANG YAHUDIIbnu Ishaq berkata, "Setelah itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membuat perjanjian antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Dalam perjanjian tersebut, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak memerangi orang orang Yahudi, membuat perjanjian dengan mereka, mengakui agama dan harta mereka dan membuat persyaratan bagi mereka. Teks perjanjian adalah sebagai berikut:B i s m i I I a h i r r a h m a a n i r r a h i mini adalah tulisan dari Muhammad Shalallahu Alaihi wa Salam untuk kaum Mukminin dan kaum Muslimin dari Quraisy dan Yatsrib, orang orang yang bergabung dengan mereka dan berjuang bersama mereka. Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu dan berbeda dengan manusia yang lain. Kaum Muhajitin dari Quraisy tetap dalam tradisi mereka yang diperbolehkan Islam, mereka membayar diyat (ganti rugi pembunuhan, atau pencideraan) kepada sebagian yanq lain, menebus tawanan mereka dengan cara yang baik dan adil kepada kaum Mukminin. Bani Auf tetap dalam tradisi mereka yang diperbolehkan Islam, mereka membayar diyat kepada sebagian yang lain seperti dulu dan setiap kelompok menebus tawanannya dengan cara yang baik dan adil kepada kaum Mukminin. Bani Saidah tetap berada pada tradisi mereka yang diperbolehkan Islam, sebagian dari mereka membayar diyat seperti sebelumnya, sebagian dari mereka menebus tawanannya dengan cara yang baik dan adil kepada manusia. Bani Al Harts tetap berada pada tradisi mereka yang diperbolehkan Islam, sebagian dari mereka membayar diyat, sebagian dari mereka menebus tawanannya dengan cara yang baik dan adil kepada manusia. Bani An Najjar tetap berada pada tradisi mereka yang diperbolehkan Islam, sebagian dari mereka membayar diyat kepada sebagian yang lain, setiap kelompok dari mereka menebus tawanan dengan cara yang baik dan adil kepada manusia. Bani Amr bin Auf tetap berada pada tradisi mereka yang diperbolehkan Islam, sebagian dari mereka membayar diyat kepada sebagian yang lain seperti sebelumnya, sebagian dari mereka menebus tawanannya dengan cara yang baik, adil kepada manusia. Bani Al Aus tetap berada pada tradisi mereka yang diperbolehkan Islam, sebagian dari mereka membayar diyat kepada sebagian yang lain seperti sebelumnya, setiap kelompok dari mereka menebus tawanamya dengan cara yang baik dan adil kepada manusia. Kaum Mukminin tidak boleh menelantarkan mufrah (orang yang mempunyai hutang banyak dan mempunyai tanggungan keluarga yang banyak) dan mereka, harus memberinya uang untuk penebusan tawanan atau pernbayaran diyat dengan cara yang baik. Orang Mukmiin tidak boleh bersekutu dengan mantan budak orang Mukmin tanpa melibatkan rnantan pemilik budak tersebut. Sesungguhnya kaum Mukminin yang bertakwa itu bersatu dalam menghadapi orang yang berbuat aniaya terhadap mereka atau orang yang menginginkan kedzaliman besar, atau dosa, atau permusuhan, atau kerusakan terhadap kaum Mukminin. Orang Mukmin tidak boleh membunuh orang Mukmin yang membunuh orang kafir dan orang Mukmin tidak boleh membantu orang kafir dalam menghadapi orang Mukmin. Sesmgguhnya tapggungan Allah itu satu. Orang yang terlemah di antara mereka diberi perlindungan dan sesungguhnya orang orang Mukminin adalah pendukung bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara orang Yahudi mengikuti kami, ia berhak mendapatkan pertolongan, kebersamaan, mereka, tidak didzalimi dan mereka tidak boleh dikalahkan. Sesungguhnya perdamaian kaum Mukminin itu satu; orang Mukmin tidak boleh berdamai dengan selain orang Mukrnin dalam perang di jalan Allah kecuali atas dasar persamaan dan keadilan di antara mereka. Semua pasukan yang berperang bersama kami itu dating secara bergantian. Sesungguhnya sebagian kaum Mukminin dibunuh karena mereka membunuh sebagian kaum Mukminin yang lain. Sesungguhnya kaum Mukminin yang bertakwa berada pada petunjuk yang paling baik dan paling lurus. Sesungguhnya orang musyrik tidak boleh melindungi harta orang Quraisy atau jiwa mereka dan tidak boleh pindah kepadanya untuk menghadapi orang Mukmin. Barangsiapa membunuh orang Mukrnin tanpa dosa dan bukti, ia dibunuh karenanya terkecuali jika keluarga korban memaafkannya. Sesungguhnya kaum Mukminin bersatu dalam menghadapinya dan mereka harus menegakkan hukum terhadap orang tersebut. Sesungguhnya orang Mukmin yang beriman kepada isi perjanjian ini, beriman kepada Allah dan beriman kepada Hari Akhir haram membela. pelaku bid'ah dan melindunginya. Barangsiapa membela pelaku bid'ah atau melindunginya, ia mendapatkan kutukan Allah dan murka Nya pada Hari Kiamat. Tebusan tidak boleh diambil daripadanya. Jika kalian berselisih dalam salah satu persoalan, tempat kembalinya ialah Allah Azza wa Jalla dan Muhammad Shallahu Alahi wa Sallam. Sesungguhnya orang orang Yahudi juga terkena kewajiban pendanaan jika mereka sama sama diperangi musuh. Sesungguhnya orang-orang Yahudi Bani Auf satu urnat bersama kaum Mukminin. Bagi orang orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum Mukminin agama mereka. Budak budak mereka dan jiwa mereka (terlindungi), kecuali orang yang berbuat dzalim dan berbuat dosa, ia tidak menghancurkan siapa siapa selain dirinya sendiri dan keluarganya. Sesungguhnya orang orang Yahudi Bani An Najjar merniliki hak yang sama dengan orang orang Yahudi Bani Auf. Sesungguhnya orang orang Yahudi Bani Al Harits mempunyai hak yang sama derigan orang orang Yahudi Bani Auf. Sesungguhnya orang orang Yahudi Bani Saidah mempunyai hak yang sama derigan hak orang orang Yahudi Bani Auf. Sesungguhnya orang-orang Yahudi Bani Jusyam memiliki hak yang sama dengan orang orang Bani Auf. Sesungguhnya orang orang Yahudi Bani Al Aus memiliki hak yang sarna demgan hak orang orang Yahudi Bani Auf. Sesungguhnya orang orang Yahudi Bani Tsalabah memiliki hak yang sama demgan hak orang orang Yahudi Bani Auf, kecuali orang yang berbuat dzahm dan berbuat dosa, ia tidak menghancurkan siapa siapa selain dirinya sendiri dan keluarganya. Sesungguhnya Jafnah, salah satu kabilah darl Tsa'labah sama seperti mereka. Sesungguhnya orang orang Yahudi Bani As Suthaibah mempunyai hak yang sama dengan hak orang orang Yahudi Bani Auf. Sesungguhnya kebalkan itu seyogyanya menghalangi seseorang dari keburukan. Sesungguhnya budak orang orang Tsalabah sama seperti mereka. Sesungguhnya keluarga, orang orang Yahudi sama seperti mereka. Seorang pun dari orang orang Yahudi tidak boleh keluar dari Madinah kecuali atas izin Muhammad Shallallahu Alahi wa Saffam. Barangsiapa membunuh, ia membunuh dirinya sendiri dan keluarganya, kecuali orang yang didzalimi, sesungguhnya Allah hendak menolak kedzaliman dan dirinya. Sesungguhnya orang orang Yahudi terkena kewajiban pembiayaan (infak) dan kaum Muslimin juga terkena kewajiban pembiayaan (infak), serta mereka semua berkewajiban memberikan pembelaan terhadap siapa saja yang memerangi orang orang yang terikat demgan perjanjian ini. Nasihat dan kebaikan harus dijalankan di tengah tengah mereka. Seseorang tidak boleh berbuat Jahat terhadap sekutunya dan pembelaan (pertolongan) harus dibenkan kepada orang gang dicizalimi. Sesungguhnya orang orang Yahudi wajib bennfak bersama kaum Mukminin jika mereka diperangi musuh. Sesungguhnya Yatsrib haram bagi orang yang berada dalam pedanjian ini. Sesungguhnya tetangga itu seperti jiwa; !a tidak boleh diganggu dan tidak boleh disakiti. Sesungguhnya kehormatan itu tidak boleh dilanggar kecuali atas izin pemiliknya. Jika pada orang orang yang berada dalam perjanjian ini terhadap kasus atau konflik yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya ialah kepada Allah Azza wa Jalla dan kepada Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sesungguhnya Allah sangat mampu menjaga perjanjian ini. Sesungguhnya orang orang Quraisy tidak boleh dilindungi begitu juga orang-orang yang menolong mereka. Sesungguhnya orang orang yang terikat demgan perjanjian ini berkewajiban memberikan pertolongan (pembelaan) melawan siapa saia yang bermaksud menyerang Yatsrib. Jika mereka diajak berdamai dan bersahabat, mereka harus berdamai dan bersahabat. Jika mereka diajak kepada hal tersebut, mereka mempunyai hak atas kaum Mukminin kecuah terhadap orang orang yang memerangi agama. Setiap manusia mempunyai bagian terhadap mereka sendiri seperti sebelumnya. Sesungguhnya orangorang Yahudi Al Aus; budak budak mereka dan jiwa mereka mempunyai hak yang sama dengan orang orang yang berada dalam perjanjian ini, termasuk berbuat baik kepada orang orang yang berada. dalam perjanjian ini. Sesungguhnya kebaikan itu berbeda dengan keburukan. Jika seseorang mengeerjakan sesuatu, itu untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah membenarkan isi perjanjian ini dan meridhainya. Barangsiapa keluar dari Madinah, ia aman. Barangsiapa menetap di Madinah, ia aman, kecuali orang yang berbuat dzalim dan berbuat dosa. Sesungguhnya Allah melindungi orang berbuat baik dan orang yang bertakwa, serta Muhammad adalah Rasullah (utusan Allah) Shallallahu Alaihi wa Sallam

Ref : Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam al Muafiri (Ibnu

Kajian Islam

Al Mawardi, Pencetus teori Politik Islam
Array Cetak Array
E-mail
Sejarah - Ilmuwan
Ditulis oleh Alex Kibadachi
Kamis, 16 Juli 2009 00:00
Di masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, khazanah intelektualisme mengalami kemajuan yang sangat berarti. Bahkan sebagian kalangan menilai, zaman itu sebagai salah satu tonggak kebangkitan peradaban Islam dan keemasan keilmuan. Salah satu tokoh ilmuwan dan pelopor kemajuan itu adalah Al Mawardi.
Sejarah Islam mencatat Al Mawardi sebagai pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini juga menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). "Al Khatib of Baghdad" tulis seorang orientalis.
Ulama penganut Mazhab Syafi'i ini bernama lengkap Abu Al Hasan Ali bin Habib Al Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum Mazhab Syafi'i terkenal kala itu.
Kemudian, ia pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusasteraan dari Abdullah al Bafi dan Syekh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika, dan sastra.
Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh Mazhab Syafi'i dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum Mazhab Syafi'i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji karya tersebut. Buku Al Mawardi ini terdiri 8.000 halaman, kemudian ia ringkas dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.
Pemikiran
Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan membaca karya besarnya, yakni Al Ahkaam Al Shultoniyah (Hukum dan Prinsip Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam buku AlAhkaamAlShultoniyah inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.
Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsipprinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran yang sangat maju, bahkan sampai kini sekalipun. Dalam buku ini misalnya, dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala‘'negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana.
Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa'i dan ghanimah (harta peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.
Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqth). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model `Al Ikhtiar.'
Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar As Shiddiq.
Dalam pandangan Al-Mawardi, negara adalah sebuah kesatuan komunitas yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memiliki otoritas penuh, baik yang didapat lewat proses suksesi maupun proses pemilihan. Hubungan antara pemimpin negara (khalifah) dan warganya, dalam kaitan ini adalah, hubungan kontrak yang diikat dalam sebuah baiat. Baiat penguasa bisa dilakukan secara umum di hadapan seluruh rakyat maupun dilakukan di depan para majelis syura (wakil rakyat) yang juga dikenal sebagai lembaga pengangkat dan pembubar.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, A1-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berkaitan dengan masalah jihad, Al-Mawardi menegaskan, selain perintah jihad kepada orang kafir, jihad dibagi menjadi tiga bagian: jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (dikenal juga sebagai bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan. Bila kita cermati, pembagian versi Al-Mawardi ini selalu tersangkut-paut dengan politik kekuasaan, alias mengalami reduksi dari maknanya yang luas.
Dalam hubungannya jihad terhadap mereka yang murtad, Al-Mawardi membagi dua kondisi. Pertama, mereka berdomisili di negara Islam dan tidak memiliki wilayah otonom. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak berhak diperangi, melainkan perlu diteliti latar belakang keputusannya untuk kemudian diupayakan bertobat. Kedua, mereka memiliki wilayah otonom di luar wilayah Islam. Mereka wajib diperangi.

Soal jihad melawan pemberontak, ia menulis, "Jika salah satu kelompok dari kaum Muslimin memberontak, menentang pendapat (kebijakan) jamaah kaum Muslimin lainnya, dan menganut pendapat yang mereka ciptakan sendiri; jika dengan pendapatnya itu mereka masih taat kepada sang imam, tidak memiliki daerah otonom di mana mereka berdomisili di dalamnya, mereka terpencar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam jangkauan negara Islam, maka mereka dibiarkan, tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin lainnya."
Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan politik modern, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al-Mawardi secara penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan pengangkatan seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun demikian, wacana yang dilontarkan Al-Mawardi ini sangat berbobot ketika diletakkan sebagai antitesis dari kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan khazanah berharga bagi perkembangan politik Islam modern.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruh ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun. Khaldun, yang diakui sebagai peletak dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi A1-Mawardi dalam banyak hal.
Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al-Mawardi untuk selamalamanya pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.
Terbaik
Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir mengundang empat orang ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al-Mawardi terpilih untuk menulis buku fikih Mazhab Syafi'i.
Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor (Ringkasan), dan Al Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Igna'. Khalifah memuji karya Al-Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di wilayah kekuasaannya.
Selain kedua karyanya itu, yakni IÚ'tab Al Igna', dan Al Ahkaam al Shultoniyah, Al-Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai negeri ini juga menulis buku Adab al Wazir (Etika Menteri), Siyasat al Malik (Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Tajit uz Zafar (Memudahkan Penaklukan dan Mempercepat Kemenangan). Al Ahkam al Shultonlyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, Indonesia, dan Urdu.
Al Mawardi juga menulis buku tentang 'perumpamaan' dalam Al-Quran, yang menurut pendapat Imam As Suyuthi, merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al-Mawardi menulis, "Salah satu dari ilmu Quran yang pokok adalah ilmu 'ibarat' atau 'umpama'." []

babad tanah sunda

kamarana yeeeuuuhhh....