Minggu, 11 Oktober 2009

carita ti Dayeuh Bandung

perjalan pribadi..

Tanggal 4 Oktober 2008 saya melakukan jalan kaki (hiking) menuju Gunung Palasari dan Kampung Palintang bersama adik saya Viky. Kami ingin melihat Situs Makam Dipati Ukur. Informasi mengenai situs ini juga pernah saya peroleh dari penjaga situs Candi Bojong Menje Pak Rochman tahun 2004. Sebelumnya kami beberapa kali ke Palintang sejak 2002 dengan jalur berbeda. Bagi saya Palintang – Bukit Tunggul adalah jalur hiking yang indah.

Kali ini saya menggunakan jalur Pasir Jati-Gunung Palasari yang belum kami coba. Dari Jalan A.H. Nasution Km 9,5 yaitu melalui Jalan Cijambe kami naik ojeg ke ujung Perumahan Pasir Jati, pada ruas ini tidak nyaman untuk berjalan kaki karena hilir mudik kendaraan terutama sepeda motor. Dari Pasir Jati jalan meliuk-liuk dan menanjak sudah terasa aroma pedesaan, tidak hiruk pikuk dan pemandangan indah sekali. Salah satu kegiatan ketika berjalan kaki ialah mengamati, mempelajari lingkungan sosial daerah yang dilalui.

Sebelum mencapai Bukit Paratag kami sampai di suatu bukit yang terdapat “kolecer” atau kincir angin. Ketika kami tiba di sana angin selalu bertiup dan demikian juga dengan kincir. Seandainya kincir ini dilengkapi dengan dinamo dan menghasilkan arus listrik lumayan juga untuk penggunaan di siang maupun malam hari di kampung ini (maaf saya lupa nama kampungnya), karena angin selalu bertiup sepanjang hari. Saya kira efisinsinya tinggi sekiranya dipasang kincir di sini untuk pembangkit tenaga listrik mikro.

Kemudian sampailah saya di Bukit Paratag, di sini terdapat sebuah padepokan. Beristirahat untuk beberapa jenak, kemudian saya melanjutkan perjalanan melalui jalan di sebelah kiri padepokan. Kami terus menuju Gunung Palasari di samping parit yang mengalirkan air yang jernih dari mata air di atas sana. Di sepanjang jalan di dalam hutan sekunder yang ditanami pohon pinus kami berjumpa dengan penduduk yang mengumpulkan ranting-ranting untuk kayu bakar. Kalau kami bertanya kepada mereka ke mana jalan menuju Makam Dipati Ukur kebanyakan mereka tidak tahu. Sesampainya di jalan kontrolir Perhutani kami beristirahat kembali.

Setelah beristirahat kami mencoba menerobos hutan di atas jalan kontrolir. Lambat laun jalan setapak hilang dan kini bukan pohon pinus lagi. Akhirnya kami mundur lagi ke jalan kontrolir karena tidak membawa peralatan apapun. Ah dasar bukan pendaki gunung. Kami berjalan memutari G. Palasari ke arah timur hingga tiba di jalan beraspal. Jalan ini bermula dari Alun-alun Ujung Berung melalui Cinangka atau dari Jalan Nagrog. Kami belok ke kiri menuju arah utara ke Kampung Palintang. Di perbatasan kampung jalan berganti menjadi jalan koral. Kami pun beristirahat di warung depan SD Negeri Palintang. Jikalau jalan kaki seperti ini biasanya kami hanya berbekal air mineral, dan sarapan dahulu tentunya. Kalau lapar nanti di warung-warung yang dilewati bisa makan bala-bala (bakwan), gorengan atau makanan tradisional. Dengan demikian beban tidak berat sehingga berjalan kaki dapat menempuh jarak yang lebih jauh. Saya pun bertanya kepada pemilik warung keberadaan situs makam Dipati Ukur. “Eta Cep caket di tonggoh teu tebih ti dieu ke mengkol ka kenca taroskeun we ka urang dinya. Malih kuncenna oge caket di dinya”. (Sudah dekat berjalan naik lagi kemudian ada jalan yang belok ke kiri. Nanti tanyakan lagi ke penduduk yang ada di sana. Malah juru kunci makam juga dekat di sana), demikian petunjuk dari pemilik warung. Setelah membayar dan menolak kembalian (soalnya tadi menyebut saya dengan Encep/Cep sebuah sapaan penghormatan, ha ha ha kalau menyebut “juragan” saya akan tambah lagi) kami melanjutkan perjalanan. Dari tepi jalan kami memasuki sebuah gang yaitu Gang E.H. Jaya. Kami tidak singgah di rumah juru kunci, tetapi melanjutkan dengan berjalan menurun hingga tiba di sebuah kali yang termasuk DAS Citarik. Setelah melewati jembatan jalan kembali menanjak. Kami berpapasan dengan tiga orang nenek-nenek dan saya menanyakan keberadaan makam Dipati Ukur. Salah seorang nenek menjawab, “Teras we lempeng tos caket, nini ge nembe ti dinya tah nu palih dieu makam Dalem Dipati Ukur anu palih dituna makam Prabu Siliwangi” (Terus saja ikuti jalan ini sudah dekat, nenek juga baru pulang dari sana yang sebelah sini makam Dalem Dipati Ukur dan yang sebelah sana makam Prabu Siliwangi).

Kami melanjutkan perjalanan menuju situs. Cuma saya terus merenung. Makam Prabu Siliwangi? Soalnya begitu banyak situs yang oleh penduduk di beberapa tempat disebut makam Prabu Siliwangi atau petilasan. Jalan ke makam bersih di bawah pohon hutan yang rimbun. Pertama kali menjumpai susunan batuan yang hampir berbentuk lingkaran, mungkin susunan batuan sudah bergeser dari formasi aslinya. Mungkinkah ini yang oleh penduduk dinamakan makam Dipati Ukur?

Kemudian kami berjalan ke arah selatan beberapa meter dari sana menjumpai formasi batuan yang bentuknya lebih kecil. Dan berjalan lebih ke selatan lagi terdapat susunan batuan yang lebih besar dalam bentuk persegi panjang. Apakah ini yang dimaksud nenek tadi makam Prabu Siliwangi?

Saya teringat buku “Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir pantun Sunda” (Jacob Sumardjo, 2003) mengenai Kuburan Kosong di Pasundan. Ajat Rohaedi seorang arkeolog banyak mengunjungi situs-situs sejarah dan ada makam tua di situs tersebut apabila digali ternyata kosong. Seringkali suatu kampung mempunyai mitos asal-usul kampung tersebut, maka untuk membuktikan mitos atau cerita itu pernah terjadi atau tokoh dalam mitos pernah hadir di kampungnya, maka dibuatlah semacam bukti. Bukti dapat berupa kuburan kuno, pohon besar yang rindang, batu besar, patung dll.

Hal di atas berhubungan dengan sisa kepercayaan primordial bahwa hidup di dunia merupakan kesatuan dengan alam semesta dan alam rohani (tripartit, tritangtu). Yang mana kehidupan rohani ini sangat menentukan kehidupan di dunia yang material. Seringkali susunan tempat sbb: Desa-komplek makam-hutan/bukit/gunung. Di mana ketiganya dihubungkan oleh sungai atau jalan. Dunia bawah-dunia tengah-dunia atas. Kedua dimensi yang berlawanan diharmonikan di dunia tengah oleh alam roh nenek moyang atau tokoh/pahlawan. Jadi dunia manusia (kampung) dihubungkan dengan alam roh yang berada di hutan/bukit/gunung oleh alam roh nenek moyang.

Jika usia kuburan belum tua bisa jadi tidak kosong, bahkan nyata. Misalnya makam pendiri kampung. Seringkali makam tersebut diziarahi oleh keturunan dan warga kampung tersebut.

Demah Luhur yang ada di kampung Palintang ini saya tidak berani mengatakan kosong atau tidak, karena harus berpijak pada bukti arkeologis dan sejarah. Saya kira itu belum dilakukan pada situs ini. Kita bisa menelusurinya atau bertanya keapada keturunannya mungkin mereka menyimpan catatan/cerita secara turun-temurun. Menurut Ua Bandung banyak versi mengenai Dipati Ukur. Di antaranya ketika tidak berhasil mengusir VOC dari Batavia (1628 M) atas perintah Sultan Agung dari Mataram, dikarenakan balatentara dari Mataram terlambat tiba. Beliau tidak menghadap kepada Sultan Agung di Mataram, apalagi beliau mendengar kabar ketika sedang menggempur Batavia, daerah kekuasannya Tatar Ukur ada yang meranjah. Beliau kembali ke Ukur. Sehingga Sultan Agung menganggap Dipati Ukur pemberontak (pada waktu itu daerah Priangan berada di bawah kekuasaan Mataram) di sebelah barat ada Kesultanan Banten yang juga ingin meluaskan kekuasaanya ke sebelah timur. Setelah tertangkap oleh ketiga umbul (kepala daerah) yaitu Ki Astamanggala (Umbul Ciahurbeuti), Ki Somahita (Umbul Sidangkasih), dan Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta), Dipati Ukur diserahkan kepada Sultan Agung di Mataram. Ketiga umbul diangkat oleh Sultan Agung menjadi bupati dengan kabupaten yang baru yaitu Ki Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, Ki Astamanggala menjadi Bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, dan Ki Somahita menjadi Bupati Parakan Muncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya.

Tetapi ada versi lain yaitu ketika rombongan ketiga umbul melewati Talaga dicegat oleh pasukan Adipati Talaga. Karena ketiga umbul mengakui keunggulan Adipati Talaga, maka dibuat perdaya bahwa yang diserahkan kepada Sultan Agung adalah seseorang yang belapati dan mengaku Dipati Ukur. Hingga akhir hayatnya Dipati Ukur tinggal di Talaga dan dimakamkan di sana.

Menurut pengamatan saya secara sekilas Dipati Ukur adalah tokoh yang “dipikatineung” (sangat dikenang) oleh masyarakat Priangan setelah Prabu Siliwangi. Pada abad 20 paling tidak ada dua orang yaitu Oto Iskandar Dinata dan Ir. H. Djuanda yang menjadi “kareueus” (kebanggaan). Keberaniannya dan keandalannya luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar